Para pecinta sambal terasi di Sulawesi Tenggara tentu sangat familiar dengan Kota Tinanggea. Kota yang terletak di bagian selatan Propinsi Sulawesi Tenggara ini dikenal pula dengan sebutan kota terasi. Wajar saja masyarakat menyebut demikian, sebab dari daerah ini dihasilkan terasi-terasi berkualitas tinggi yang tidak hanya dijual di daerah Sulawesi Tenggara saja, tetapi juga dikirim sampai ke luar propinsi. Jika anda pergi ke sana, anda akan menemukan satu perkampungan kecil yang bernama Muara Lanowulu. Tempat inilah yang menjadi sentral penghasil terasi terbesar Tinanggea dan menjadi salah satu aktor di balik sukses besar Tinanggea sebagai kota terasi.
Menuju Muara Lanowulu
Muara Lanowulu secara administratif berada di Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan. Lokasi ini berjarak ± 120 km dari Kota Kendari dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat selama ± 2,5 jam. Jalan utama yang dilalui merupakan jalan poros propinsi yang kondisinya sangat bagus. Jalan ini membentang dari Kota Kendari sampai Desa Lanowulu. Dari jalan poros ini ke Muara Lanowulu harus melewati sungai yang berjarak sekitar 7 km ke arah pantai. Dari sini membentang hutan mangrove TNRAW mulai dari muara Sungai Roraya sampai Sungai Langkowala dengan luas 6.173 ha atau 5,87% dari total luas kawasan. Di balik hamparan bakau inilah masyarakat Muara Lanowulu menangkap udang kecil yang nantinya digunakan sebagai bahan baku membuat terasi. Masyarakat sekitar menamakan udang kecil ini dengan sebutan “udang rebon”.
Masyarakat yang mendiami kawasan mangrove Muara Lanowulu adalah masyarakat nelayan tradisional yang didominasi suku Bugis, selain itu terdapat juga masyarakat suku Tolaki. Saat ini, dimuara Lanowulu terdapat ± 37 KK dengan jumlah penduduk ±156 jiwa. Seluruh penduduknya beragama Islam dan masih memiliki kepercayaan kepada berbagai macam mitos. Masyarakat yang tinggal di muara ini mempunyai hubungan keluarga satu sama lain (mereka merupakan keluarga besar).
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, penduduk Muara Lanowulu umumnya bekerja sebagai nelayan penangkap udang, kepiting dan petani rumput laut, sedangkan penangkapan ikan hanya untuk konsumsi sendiri. Keadaan musim sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Muara Lanowulu. Pada saat musim timur yang terjadi pada bulan Agustus-November, hasil yang didapatkan oleh masyarakat biasanya hanya untuk dikonsumsi sendiri. Nilai tangkapan tiap kepala keluarga (KK) di Muara Lanowulu digambarkan dalam tabel berikut :
No
|
Jenis Tangkapan
|
Alat Tangkap
|
Hasil/KK
|
Harga Penampung
|
Keterangan
|
1
|
Udang putih
|
pukat
|
0,5-3 kg/hari
|
Rp 8.000,- s/d Rp 10.000,-/kg
|
tujuan ekspor
|
2
|
Balaceng
|
togo
|
10-20 liter kering
|
Rp 700,- s/d Rp 1.000,-/ liter
|
dibuat terasi
|
3
|
Kepiting bakau
|
bubu nilon
|
4-5 ekor/hari
|
Rp 7.500,- s/d Rp 45.000,-/ekor
|
harga tergantung berat
|
4
|
Kepiting rajungan
|
bubu bambu
|
2-4 kg/hari
|
Rp 5.000,- s/d Rp 15.000,-/ekor
|
harga tergantung berat
|
5
|
Kerang
|
bubu
|
20-25 liter/hari
|
Rp 1.000,-/kg
|
Dilakukan ibu-ibu saat perahu tidak melaut
|
6
|
Rumput laut
|
tali
|
10-30 kg /bln
|
Rp 4.000,-/kg
|
Panen dilakukan sebulan sekali
|
Keanekaragaman Flora
Tipe tanah di Muara Lanowulu merupakan endapan lumpur (mudflat) sehingga sangat baik untuk tegakan dari famili Rhizophoraceae, seperti Rhizophora mucronata, R. stylosa, R. Apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, C. decandra, dan Bruguiera parviflora serta beberapa jenis dari famili Combretaceae seperti Lumnitzera littorea dan L. racemosa. Formasi vegetasi mangrove dalam kawasan TNRAW berdasarkan hasil identifikasi dan inventarisasi yang dituang dalam peta partisipatif tahun 2004 terbagi atas empat formasi, yaitu formasi vegetasi pada zona mangrove terluar, zona mangrove tengah, zona mangrove pinggiran dan zona mangrove payau.
Formasi vegetasi pada zona mangrove terluar didominasi oleh jenis dari famili Avicenniaceae yaitu Avicennia alba (api-api) dan Sonneratia sp. (peropa) dan dari famili Rhizophoraceae terutama jenis Rhizophora mucronata (bakau hitam) dan R. apiculata (bakau putih). Zona mangrove tengah didominasi masih dari famili Rhizophoraceae tetapi dari jenis yang lain yaitu Ceriops tagal (tangir) yang yang homogen dan diselingi oleh tegakan bakau yang tumbuh pada areal sempit dan berlumpur. Zona mangrove tengah ini terdapat di bagian timur Selat Tiworo.
Zona mangrove pinggiran pada dasarnya merupakan zona peralihan ke ekosistem daratan. Formasi vegetasi pada zona ini dibentuk oleh jenis tumbuhan yang lebih beragam. Jenis-jenis yang tumbuh di daerah ini adalah Ceriops tagal (tangir), Xylocarpus granatum (buli), Lumnitzera littorea (unga-unga), Heritiera littoralis (nguru), Sonneratia sp. (peropa), Bruguiera gymnorriza (coke), Intsia bijuga, Pandanus sp. (pandan) dan lain-lain. Zona mangrove payau adalah areal mangrove yang dialiri sungai berair payau dan biasanya didominasi oleh komunitas Nypa fruticans (nipah), Rhizophora sp. (bakau) dan Sonneratia sp. (peropa).
Kearifan Tradisional Togo
Bakau Muara Lanowulu ternyata menyimpan kekayaan biota laut yang luar biasa. Vegetasi bakau telah menjadi rumah bagi berbagai jenis ikan, udang dan kepiting. Disinilah puluhan keluarga nelayan Muara Lanowulu menggantungkan hidupnya dengan memasang berbagai alat tangkap seperti pukat, bubu dan pancing. Terdapat pula alat-alat tangkap yang dikembangkan secara tradisional oleh warga muara. Mereka menamakan alat modifikasi tersebut dengan sebutan “Togo”.
“Togo dulunya bernama ‘Julu’. Julu adalah alat tangkap berupa trawl (pukat) yang memiliki lubang-lubang yang agak besar. Sehingga hanya udang putih yang berukuran besar saja yang tertangkap oleh julu. Pada tahun 1975-an, warga muara Lanowulu memodifikasi julu ini untuk menangkap udang-udang berukuran kecil. Kami menamakan alat itu dengan sebutan Togo”, ungkap Pak Madamang, warga yang biasa ke Muara Lanowulu ketika ditanya tentang kehidupan nelayan muara. Togo bagi warga muara telah berkembang menjadi identitas dan ciri khas yang membedakan nelayan Muara Lanowulu dengan nelayan-nelayan di tempat lain.
Sambil memandangi Togo miliknya, Pak Madamang bercerita, “Togo lahir dari ide warga muara. Kami tambahkan pada tali julu yang kami sebut ‘laso-laso’ itu dengan nilon yang sangat halus. Dengan togo tersebut kami berhasil menangkap ‘rebon’, udang kecil-kecil yang kemudian kami olah menjadi terasi.” Sejak saat itu, perkampungan Muara Lanowulu dikenal sebagai sentral penghasil terasi. Dalam sebulan warga bisa menghasilkan 100-150 kg terasi tiap bulannya. Harga jual di penampung lokal Rp 5.000,-/kg. Selanjutnya penampung lokal ini menjual kembali terasi tersebut dengan harha Rp 7.500,- sampai Rp 8.000,- tiap kg.
Warga Muara Lanowulu telah menjadikan togo sebagai salah satu identitas kebudayaan. Hal ini tertuang di dalam peraturan adat tentang pemakaian togo. Adat membatasi jumlah togo yang dapat digunakan oleh nelayan. Penempatan alat tangkap ini pun juga harus ditata berselang-seling. Bagi warga yang melanggar peraturan ini akan terkena sanksi adat. Kearifan tradisional togo muncul sebagai upaya warga muara untuk menjaga kelestarian udang di masa mendatang agar tidak habis terambil. Pembatasan jumlah togo akan memungkinkan udang-udang muara untuk beregenerasi.
Berkolaborasi Menyelamatkan Mangrove
Warga muara menyadari bahwa kelestarian ekosistem mangrove merupakan prasyarat agar mereka dapat mengambil ikan dan udang secara berkelanjutan. Bagi mereka mangrove adalah bagian dari kehidupan sehari-harinya. Maklum saja, pekerjaan sebagai nelayan menjadi tulang punggung perekonomian keluarga. Mereka kurang terampil dalam mengolah lahan pertanian, sehingga di Muara Lanowulu jarang sekali ditemukan lahan-lahan pertanian. Selama bertahun-tahun setelah mereka membangun perkampungan muara, pekerjaan ini telah digeluti secara turun-menurun. Warga biasa memetik propagul bakau ketika sedang mencari ikan. Propagul ini lalu ditanam secara swadaya di tempat-tempat yang tutupan bakaunya sedikit. Warga nelayan ini berharap bakau-bakau kecil itu nantinya mengundang kehadiran ikan dan udang sehingga mudah ditangkap.
Keprihatinan warga muara timbul ketika marak terjadi pembukaan hutan mangrove untuk disulap sebagai areal pertambakan mulai tahun 1990-an. Padahal tindakan ini telah melanggar peratuan di bidang perikanan yang mempersyaratkan perlindungan jalur hijau sejauh 200-300 m dari garis pantai terdekat. Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya laju penebangan pohon bakau pada rentang tahun 1997-2000. Aparat Departemen Kehutanan (POLHUT) Balai TNRAW kemudian melakukan tindakan pengamanan terhadap pelaku perusakan kawasan. Namun yang terjadi kemudian adalah permainan kucing-kucingan antara pelaku dan aparat. Pelaku sengaja menunggu kelengahan aparat POLHUT sebelum melakukan pembalakan liar bakau di kawasan muara. Akibatnya terjadi kerusakan mangrove di beberapa lokasi tempat warga mencari ikan. Warga muara mengaku sejak kejadian itu hasil tangkapan ikan menurun. Mereka kesulitan memproduksi terasi dalam skala besar karena sedikitnya hasil tangkapan udang rebon.
Warga muara merasa geram dengan ulah oknum perusak mangrove. Dengan difasilitasi CARE International Indonesia, pada tahun 2002 warga muara bersepakat membentuk lembaga yang dapat dijadikan sebagai wadah untuk saling bertukar informasi dan menyatukan persepsi tentang kelestarian mangrove. Warga menjalin kolaborasi dengan Balai TNRAW sebagai satu bentuk upaya untuk mengamankan mangrove dari oknum tak bertanggung jawab. Dalam kolaborasi ini warga membuat kesepakatan dalam pemanfaatan mangrove pesisir dengan pihak Balai TNRAW sebagai pengelola kawasan. Mereka menamakan organisasi tersebut Lembaga Komunitas Masyarakat - Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (LKM-TNRAW).
LKM bagi warga muara juga berperan sebagai lembaga yang mengawasi pelaksanaan hukum-hukum adat terkait dengan pemanfaatan mangrove. Lembaga ini berjuang keras untuk kembali melembagakan kearifan tradisional “togo” yang telah terbukti berhasil mengangkat nama kampung Muara Lanowulu sebagai penghasil terasi yang terpenting. LKM juga melakukan patroli rutin Pengamanan Swakarsa (PAM SWAKARSA) di perairan mangrove untuk memastikan Kearifan Tradisional Togo diterapkan oleh masyarakat nelayan muara. “Kami berharap upaya pengamanan dan rehabilitasi yang kami lakukan ini bisa mempertahankan kelestarian mangrove di Muara Lanowulu. Mudah-mudahan ikan dan udang muara bisa dinikmati hingga anak cucu kami…”, ungkap Pak Madamang sambil tersenyum. Kini, Pak Madamang telah menjadi salah satu anggota LKM yang turut aktif memperjuangkan konservasi mangrove di Muara Lanowulu.
Ingin tahu lebih lanjut tentang Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai ?? Silahkan kunjungi : http://tnrawku.wordpress.com/
Ingin tahu lebih lanjut tentang Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai ?? Silahkan kunjungi : http://tnrawku.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar